PULKAM BERUJUNG ISOLASI ; JADI (ODR) ORANG DALAM RESIKO

May 13, 2020



Saya bagikan pengalaman ini layaknya sebuah cerpen, supaya teman-teman bisa membacanya sambil duduk di teras ngopi-ngopi santai.

Jumat, 24/04/2020
            Hari pertama berpuasa sekaligus kebahagiaan karena ‘nekad’ untuk pulang ke kampung halaman di tengah pandemi covid-19. Apa boleh buat, permintaan ibu tidak bisa saya tawar, karena ibu yakin dengan adanya awal puasa, kumpul keluarga menjadi penawar rindu yang mendalam. Mengingat, kami hanya hidup bertiga dalam satu rumah setelah ditinggal ayahanda pergi ke dimensi lain.
            Semua perlengkapan mudik sudah dipersiapkan dengan matang, sekaligus keperluan konsultasi perkuliahan secara daring. Tepat pukul setengah enam pagi saya bergegas dari tanah rantau mengendarai ‘bejo’,motor Mio keluaran 2011.  Selepas makan sahur, saya sengaja tidak tidur kembali sampai sholat subuh selesai. Kemudian, dengan  yakin membaca doa,saya  memanaskan motor. Perjalanan kurang lebih saya tempuh tepat dua jam menuju kota Probolinggo, tanah kelahiran yang penuh kenangan dengan momen sekaligus emosionalnya beberapa tahun silam.
            Kota Malang yang tengah dirundung duka karena masih terjebak di masa pandemi, ternyata cukup lengang untuk dilalui satu pengendara saja pada waktu sepagi itu. Di perbatasan Malang – Pasuruan, ternyata hawa sejuk yang diberikan kawasan Singasari menyita perhatian saya. Kabut yang tak biasa itu mampu membuat saya berdecak kagum. Tak biasanya hawa ini saya dapatkan ketika di masa-masa normal (sebelum covid19 masuk ke Indonesia—khususnya Kota Malang). Siluet kota tampak cantik dan dingin yang begitu ramah. Saya pelankan kendaraan pada kecepatan kurang dari 40 kilometer per detik. Sempat saya tangkap pemandangan itu dengan kamera smartphone saya, hanya saja saya tak mendapatkan gambar yang sama seperti yang saya tangkap dengan mata saya sendiri. Indahnya beda. Mungkin karena resolusi smartphone saya yang rendah, mengakibatkan faktor indahnya berkurang.
            Terlepas dari indahnya kabut pagi itu, saya merasa lega karena akhirnya bisa kembali bertemu keluarga di rumah, karena kesempatan libur yang ditetapkan oleh pemerintah yang – entah untuk berapa lama. Meski begitu, saya tetap menjalankan perkuliahan secara daring.
            Pukul tujuh lebih lima puluh satu detik, saya sampai di kampung halaman saya. Tepatnya, sekitar 2 kilometer sebelum kediaman saya. Langsung saya hubungi nomor ibu, dan mengatakan kalau saya sudah sampai. Seperti biasa, tiap saya pulang kampung selalu sempatkan diri untuk mengunjungi ‘rumah baru’ ayahanda saya di belakang puskesmas Curah Grinting. Tampaknya sebelum saya, sudah ada yang menyambangi dan menyiramnya dengan air kembang sedap malam. Sempat lupa, di dasbor motor saya bawa sebotol air mineral. Memang tak terlalu penuh dan saya memang sedang berpuasa, tapi setidaknya cukup untuk menyirami kediaman ayah yang ternyata sudah basah lebih dulu. Dan saya harap itu tidak menjadi masalah karena jangkauan pompa air ke makam ayah cukup jauh.
            Setelah dirasa berbicara dengan ayah dan rapalan doa-doa yang dibalut kangen sudah cukup, saya berpamitan dan bergegas kembali ke rumah. Sesampainya disana, ternyata pos satpam rumah susun telah menyediakan washtafel portable untuk para penghuni Rusun – dan tidak diperkenankan tamu dari luar Kota Probolinggo untuk masuk – meskipun itu sanak keluarga sendiri. Dan benar saja, motor yang saya kendarai tidak diperbolehkan masuk melewati portal. Dari sana, ekspresi dan sikap warga mulai memanas. 
            Ibu saya telepon, saya disuruh menunggu di tempat yang sama. Selang sepuluh menitan, ibu datang bersama seorang lelaki paruhbaya yang sudah dipastikan ia ketua Rukun Warga lingkungan rumah saya. Setelah menunggu sekitar setengah jam, pak RW menyarankan agar saya dikarantina untuk mencegah penyebaran virus, karena datang dari kota berdampak covid-19red zone. Dalam hati, saya berpikir kalau saya dikarantina, sama saja saya menambah waktu tidak pulang kampung selama empat belas (14) hari dari hari ini, tapi kalau tidak mengikuti prosedur, khawatir saya yang tadinya sehat bisa saja membawa virus itu dalam perjalanan ke rumah, dan mengakibatkan orang-orang yang saya sayangi jadi terdampak. Ah,sial! Tapi,baiklah. Saya pikir, sebagai warga yang baik dan tidak suka melihat kecurangan, saya ikuti prosedur yang ada. Dengan resiko, dalam 14 hari tidak bisa makan sahur dan berbuka dengan keluarga di rumah.
            Ada hal yang membuat saya sebal dengan si ketua RW saya, awal pembicaraan beliau mengatakan bahwa saya akan di antar dengan mobil khusus, tetapi di menit berikutnya saya disuruh untuk berangkat sendiri sekaligus membawa perlengkapan yang akan saya kenakan selama karantina. Di sisi lain, perlengkapan yang dimaksud tidak saya bawa dari tempat rantau dan lagi-lagi saya merepotkan ibunda saya yang harus berjalan kaki dari pos satpam Rusun ke rumah dengan jarak yang tidak dekat – mungkin 1,5 sampai 2 kilometer, dan kembali bersama adik saya yang sudah siap dengan motor serta tas ransel yang disiapkan seperti layaknya orang camping. Sudah seperti dibolaping-pongkan, karena tidak ada kejelasan yang tepat. Bukankah sama saja dengan menyerahkan diri? Tapi, ya sudahlah. Tidak apa, daripada warga yang awam dengan virus jadi makin tidak keruan reaksinya. Saya tidak mau ambil pusing.
            Sesampainya di lokasi, saya parkirkan motor di depan salah satu instansi pendidikan kejuruan, SMKN 2 Probolinggo. Dari depan pintu pagar sudah dijaga ketat dengan pengamanan beberapa tentara dan beberapa polisi, juga satpam sekolah. Diarahkan masuk ke ruangan yang dituju untuk di data. Kemudian saya dibuat bingung lagi karena ternyata salah satu tentara kebingungan mengatasi beberapa orang yang tiba setelah saya. Disuruh langsung masuk ke ruangan pemeriksaan, kemudian di sisi lain, pihak medis menyuruh untuk dipersiapkan kursi dan mengantre.
Baiklah, tetap sabar, Nen. Tidak apa, setidaknya biar tahu sekalian bagaimana tata cara pemeriksaan sampai seluk-beluk di dalamnya. Sepertinya akan seru kalau observasi langsung sekaligus berstatus sebagai orang yang terlibat di dalamnya.
            Antrean tidak cukup panjang dan cukup menghabiskan waktu di tengah sengatan terik panas Kota Probolinggo. Saya bertekad menanyakan sudah berapa pasien yang selesai,dan berapa yang belum. Saya hanya kasian dengan ibu dan adik yang sejak tadi menunggu saya untuk mengetahui hasil tes dan pendataan.
            Ada hal menarik sebelum ibu dan adik saya bergegas pamit pulang. Seorang ibu yang telah melewati masa mudanya hingga rambutnya beruban, ternyata juga sedang menunggu sang anak yang sedang diperiksa. Kabarnya, sang anak baru saja datang dari rantauan, tepatnya Ketapang, perbatasan Banyuwangi dan Pulau Bali. Sama halnya dengan saya, yang juga datang dari rantauan. Ternyata,sang anak baru saja pulang setelah 8 tahun bertahan dari rantauan karena tuntutan pekerjaan. Ternyata,kami bertetangga di sebuah Rusun.
            Anak sang ibu yang dari rantau Ketapang tadi dinyatakan ODP (Orang Dalam Pantauan), bergelang biru dan harus diisolasi. Dan saya cukup khawatir dengan diri saya sendiri yang datang dari zona merah. Selang beberapa waktu, giliran saya menemui petugas medis. Ya, mereka berpakaian seperti yang kita lihat di televisi. Serba putih seperti astronot, dengan penutup kepala berwarna hijau – entah apa sebutannya, penutup mata transparan, sapu tangan, dan masker, serta sepatu boot. Hal-hal umum yang didata sama seperti kalian ketika mengisi formulir, nama lengkap,asal,dan yang paling krusial adalah pertanyaan “dari perjalanan mana sebelumnya”. Barulah kemudian hal-hal mendetail seperti apa yang dirasakan akhir-akhir ini, batuk,pilek, demam, atau bahkan sesak napas. Semua saya jawab tidak ada keluhan apapun, sampai saat itu juga suhu tubuh saya di cek dengan alat pendeteksi, ditembak di dahi,dan ...”36,5, dok”. Well, I’am fine. Normal. Tapi, tetap saja, seorang dokter menyiapkan sebuah gelang penanda berwarna merah muda, yang diberikan untuk terduga ODR (Orang Dalam Resiko). Ya, saya memakainya. Dan ibu, tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya karena tidak bisa menghabiskan malam pertamanya berbuka dengan kedua anaknya secara lengkap. Saya harus terpaksa dikarantina untuk 14 hari seperti yang dianjurkan pemerintah pusat. Saya santai, ibu yang berkaca-kaca semi tersenyum menyembunyikan sedih dan rasa khawatirnya.
Tenang,bu. Hanya sampai empat belas hari saja, setelah itu peluk aku sepuasnya.
            Setengah hari saya habiskan waktu di sebuah kelas yang dialihfungsikan menjadi kamar para ODR. Ada enam (6) dipan. Saling berhadap tiga – tiga. Tiga diantaranya digunakan oleh satu keluarga dengan dua (2) anak. Layaknya sebuah kamar asrama, saya meletakkan ransel dan keperluan saya di tempat seadanya, tepat di samping dipan. Saya sempatkan waktu untuk mandi, karena cuaca disini sangat menyengat dari Kota Malang. Jangan beranggapan fasilitas di khususkan benar-benar spesial. Kalau kalian tau toilet sekolah, seperti itu yang kami gunakan. Sayangnya, keadaan fasilitas di sini cukup membuat ngeri. Siang terang benderang, malam harinya terlihat angker, karena minimnya pencahayaan. Tapi tenang, bersyukur semasa sekolah saya tidak pernah dilarang orangtua untuk ikut pramuka dan organisasi lainnya. Sehingga, kondisi seperti ini tidak membuat saya keder alias mundur satu langkah ataupun merengek minta pulang.
            Makan malam disiapkan lebih awal, karena tengah berada di bulan Ramadhan. Jangan dimisalkan prasmanan, kami makan disediakan nasi kotak sehat dengan sepotong buah di tiap pergantian jam makannya.
Lumayan, setidaknya makan disini menjadikan tubuhku yang kurus bisa sedikit berisi karena asupan gizi yang cukup baik. Dan, setidaknya selama 14 hari beras di rumah tidak habis kumakan sendiri hahha.
            Disini, dalam ruangan kelas yang jadi ruang tidur kami, saya ditemani 2 KK. Satu keluarga dari rantauan Bali dengan suami-isteri dan dua anak yang masih kecil-kecil, satunya lagi sama. Hanya saja, seorang ibu dan seorang anak kelas 1 SD. Mereka berasal dari tempat rantau yang sama, hanya terpaut beda daerah. Tidak terlalu penuh di hari pertama ini, cukup seperti vila keluarga.

Sabtu, 25/04/2020
            Tidur nyenyak adalah harapan saya, mungkin juga orang-orang di ruangan yang sama. Hanya saja, pukul 3 pagi saya sudah harus terbangun dengan cepat karena suara orang asing yang menanyakan “berapa orang di dalam”. Mungkin seorang tentara dan ingin memberikan asupan sahur. Dan benar tebakan saya. Saya yang begitu sulit dibangunkan pagi, hari ini juga saya mengakui bisa cepat bangun karena suara lelaki asing. Sebuah nasi kotak untuk sahur sudah habis saya lahap. Dan, jangan dikira saya bisa tertidur lagi seperti biasanya. Karena jujur, kasur dalam keadaan panas. Mungkin karena kasur yang digunakan kasur UKS. Saya paham betul.
            Selepas adzan subuh, saya coba kembali tidur. Dan tidak cukup lelap,karena jam setengah delapan pagi semua harus kembali bangun untuk di semprot cairan desinfektan.
            Semuanya sudah mandi, hanya saya yang belum kebagian waktu. Belum selesai masuk kamar, semuanya diminta untuk kembali berkumpul di depan petugas medis untuk diperiksa ulang perkembangan kesehatan kami. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda sebaya saya, dan beberapa anak kecil yang seruangan dengan saya. Semuanya memakai masker,dan dicek kembali suhu tubuhnya. Untuk tes hari ini, suhu tubuh saya 36.3o dan ditanyakan keluhannya apa saja. Dan saya kembali menjawab tidak ada.
            Di bed 35/1,adalah nomor kamar tidur saya. Di kamar ini, tepat dekat jendela. Sekali lagi, sial. Saya kembali terbawa suasana perasaan. Semua dikelilingi keluarga, sedangkan saya, sendirian. Atau lebih tepatnya, tidak bersama keluarga sendiri. Tiap kali melihat ke arah jendela, saya selalu terbawa suasana dan selalu teringat sebuah nama-nama orang terdekat yang saya sayangi. Iya, Ayah saya, disusul nama ibu, kemudian adik. Cukup sedih rasanya. Di tengah bulan suci ini, saya harus menghabiskan waktu seperempat ramadhan saya di karantina dengan orang asing, bangun tidur melihat orang yang tidak saya kenali sama sekali. Mereka bisa saja tidak cepat bosan karena ada teman bicara. Sedangkan saya, apa boleh buat. Bertahan diri selama 14 hari akan sangat membosankan bila tidak ada lawan bicara. Mendekam sendirian di ujung ruangan ini dengan membaca buku atau kadang menulis sesuatu di atas keyboard laptop yang sengaja saya bawa dari tempat kos. Tiap kali ada ide yang secara kurang ajar masuk dalam akal saya, selalu saya memalingkan wajah pada tas ransel dan mengeluarkan laptop, kadang juga dengan cara yang simpel langsung saja saya buka smartphone dan mengetik ragam tulisan di dalamnya.
            Tiap menjelang waktu berbuka, ternyata saya mulai membuka diri untuk menyapa salah satu anak dari keluarga yang ada di samping dipan saya, dan dia merespon baik sapa saya. Ternyata, saya tidak betah berlama-lama menutup diri untuk tidak membuka suara jika benar-benar 12 hari ke depan saya bertemu wajah orang-orang yang sama dalam satu ruangan. Akan sangat terasa asing dan antipati jika saya pegang teguh idealisme saya. Percakapan ringan mulai muncul di hari ini, bahkan dengan orangtua mereka.
            Tadi siang, saya ditelepon ibu, menanyakan kabar saya dan beliau menyampaikan permohonan maaf karena tidak bisa menjenguk saya hari ini, nanti sore ibu dapat panggilan kerja di pabrik, dan akan pulang tengah malam nanti sekitar jam 3 dini hari. Tidak tega rasanya, apalagi adik yang mulai (harus) terbiasa sendiri ketika ditinggal ibu bekerja mendapat bagian sift-nya. Saya bilang itu bukan menjadi masalah, bahkan saya tidak ingin merepotkannya sama sekali. Dan ibu mengatakan tetap akan datang esok hari; entah siang ataupun sore. Saya diam mengamini. Saya pun turut menceritakan kondisi saya selama seharian penuh dikarantina ini, saya mengetakan di sini yang berpuasa hanya saya dan seorang anak kelas 1 SD. Sisanya tidak. Dan ibu saya membalas ucapan saya sambil sedikit terkekeh, beliau bilang ini adalah ujian saya di Bulan Ramadhan. Pertama, saya yang segar bugar harus rela diisolasi, meski tidak sakit. Kedua, saya harus menerima kenyataan berpuasa di tengah orang-orang yang tidak berpuasa, dan yang ketiga saya harus diuji kesabarannya karena ada salah seorang anak yang begitu aktif menanyakan segala sesuatu yang dilihatnya, sampai saya nyaris ingin mengumpat dalam hati karena saking ceriwisnya bocah satu itu. Yang terakhir, saya harus melatih emosi diri untuk tetap tenang dalam mengambil keputusan dan mencari jalan keluar, karena di sini saya dijanjikan mendapatkan fasilitas koneksi internet, tetapi setelah menyambungkan jaringannya seperti acuh-tak acuh dengan smartphone ataupun laptop saya. Alhasil, keputusannya ada 2. Terus berusaha menanyakan perihal sambungan koneksi internet, atau dengan data pribadi dengan jaringan seadanya dan kesulitan untuk bergabung mengikuti perkuliahan daring. Solusi terakhir, saya tetap mengikuti perkuliahan, akan tetapi menyusul. Setidaknya,selepas empat belas hari lepas dari masa isolasi.
            Biasanya, sebelum pukul delapan malam, khususnya di kos. Saya masih belum bersiap untuk tidur. Sama sekali belum mengantuk. Tapi disini, selepas sholat isya suasananya sudah seperti pukul sembilan malam. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain sumber suara dari masjid mengumandangkan alunan al-quran. Dan sama halnya seperti awal masuk ‘jebakan’ ini, saya harus merasa kecewa lagi, karena koneksi Wi-Fi kembali tersendat. Mengalah dengan keadaan. Untungnya, hari ini hari Sabtu, tidak ada jam perkuliahan yang harus menuntut kehadiran di jam-jam tertentu untuk presensi secara daring melalui aplikasi tatap muka ‘zoom’ ataupun aplikasi pengumpulan tugas seperti ‘google Classroom’. Saya harap, empat belas hari terlewati begitu saja. Agar saya kembali tenang menjalani aktivitas perkuliahan daring maupun ibadah bersama keluarga di rumah.
Ah kenapa tidak dari awal saya pulang kampung, mungkin jadinya tidak akan seperti ini.
            Dua malam terakhir, saya harus menggunakan kerudung untuk belajar konsisten dengan pilihan saya. Hanya saja, rasanya nyaris tidak betah, karena ruangan ini panas sekali. Sedangkan, di ruangan ini ada seorang bapak paruhbaya, tidak mungkin saya melepas kerudung saya. Hitung-hitung juga berlatih memantapkan diri. Dan begitupun dua belas malam berikutnya. Hanya di tempat ini.
            Aktivitas malam ini, ternyata tidak begitu buruk. Beberapa diantara mereka asik dengan ponselnya, beberapa lagi – lebih tepatnya kedua orangtua mengajari anak-anaknya belajar berhitung dan menyebutkan huruf, dan seorang ibu paruhbaya asik membuka ponsel menyalakan berita seputar Covid-19.
“Berita bahagia datang dari pelajar Kota Probolinggo. Ia sempat dinyatakan positif corona,dan kini ia dinyatakan sembuh. Bla... bla.. bla..” Seorang presenter televisi swasta menampaikan informasinya. Mendengar itu,saya diam tapi jelas mendengarkannya sambil mengamini.
            Oh ya, sempat lupa tadi menu berbuka kami cukup mewah. Sebungkus nasi kotak berisikan lalapan ikan lele goreng jumbo dengan sambal gurih dan takjil bubur kacang hijau. Sebuah teh botol bermerk ‘Javana’ menemani buka bersama kami di sini. Cukup menarik. Sayangnya, kami tidak diperbolehkan untuk shalat tarawih bersama karena himbauan dari para tim medis yang mengharuskan kami “tidak bisa apa-apa” selain diam dalam kamar dengan ibadah sendiri-sendiri. Ruangan kembali sepi.
            Sekitar pukul sepuluh malam, saya terjaga ke kamar kecil untuk buang air kecil. Ternyata, saya terpaksa esok harinya tidak jadi puasa karena mens di hari pertama. Jujur,pada saat di tempat karantina saya tidak membawa persiapan kalau saya akan datang bulan. Akhirnya,saya terpaksa membangunkan salah satu penghuni ruangan , dan seorang ibu yang juga sedari awal masuk tidak berpuasa karena berhalangan. Kebetulan sekali, ketika saya menanyakan apakah beliau membawa pembalut, akhirnya saya meminta sebagian karena para petugas tidak menyiapkan keperluan lain diluar logistik umum.

Minggu, 26/04/2020
            Hari ke-tiga karantina, berjalan seperti awal saya masuk. Saya rasa masih tidak ada perubahan signifikan pada kesehatan saya. Beruntungnya, saya selalu merasa segar bugar.setiap pagi, selalu ada pengecekan suhu tubuh meskipun bukan dari dokternya secara langsung. Tim medis lainnya tetap berjaga, meski di hari libur. Sayangnya, petugas kebersihan tidak datang hari ini, mungkin karena hari libur dan digantikan hari esok, logistik jadi cukup terganggu karena datangnya terlambat dan membuat warga jadi ‘rewel’.
            Pemeriksaan kesehatan yang kami rasa rutin setiap paginya, ternyata harus mundur di jam makan siang sekitar jam dua belas sampai jam setengah satu, karena harus menunggu giliran tenaga medis yang memeriksa perantau yang masih saja berdatangan masuk ke Kota Probolinggo. Untuk tenaga medisnya sendiri bisa dikatakan kurang, jadi cukup menyita waktu. Setelah mengantre yang tidak begitu lama, giliran saya akhirnya maju di meja tim medis. Tim medis yang dengan cekatan dan ramah selalu menanyakan perkembangan kesehatan para perantau, ada keluhan atau tidak selama tiga hari menjalani isolasi ini, dan saya kembali menjawab ‘tidak’.  
            Suhu Kota Prolinggo diatas jam 12 kian terik, menyebabkan para perantau kepanasan di dalam kamar. Dan benar, saat saya maju untuk di cek, ternyata suhu tubuh saya ada di angka 36,7o celcius. Memang tidak sedang berpuasa, hanya saja cuaca disini selalu terik disetiap pagi menuju siang. Dan baru akan netral ketika sore menuju malam. Itupun kami tetap memasang kipas angin untuk mengurangi gerah dan menutup rapat ruangan supaya terhindar dari nyamuk. Dan jangan berharap di sini disediakan segalanya, karena memang bukan warung.

Senin, 27/04/2020
            Karantina hari ke-empat. Makan sahur nyaris terlambat. Pukul sebelas sampai setengah dua belas siang, listrik mati sampai menuju berbuka puasa (magrib). Pemeriksaan suhu badan terlambat lagi. Hampir jam 13.00 tepat, makan siang belum datang. Kabarnya, petugas relawan dari TAGANA dan BPBD harus berbagi tugas, sehingga kekurangan tenaga relawan. Di jam yang sama, petugas yang biasanya mengirimkan konsumsi ke ruangan-ruangan, kembali menghampiri ruangan-ruangan kelas menanyakan perihal jumlah penghuni ruangan. Sontak, sebagian besar penghuni memberontak dengan cara ‘ngomel’ seperti, ‘data sebelumnya kemana?’, ‘kenapa didata lagi?’, ‘harusnya begini, harusnya begitu..’ dan bla bla bla. Petugas dibuat serba salah oleh penghuni karantina. Semestinya, mereka melayani dengan sepenuh hati, malah enggan karena penghuninya yang rewel. Agaknya, boleh jadi para petugas akan menurun tingkat pelayanannya karena persoalan kecil seperti ini.
Cek suhu badan kembali dilakukan. Lagi-lagi pada jam makan siang, karena petugas masih menangani perantau yang tetap berdatangan disetiap harinya. Cuaca siang hari yang begitu terik rasanya membuat perawat terkejut merekam suhu tubuh saya. “Kok tinggi,ya? 37,7o ,dok”, kata asisten dokter tersebut.
            Di tengah listrik yang masih mengalami pemadaman, seorang ibu menanyakan perihal konsumi untuk anaknya karena sedang belajar puasa setengah hari. Lalu pelan-pelan, beliau mulai menghasut anaknya untuk berberes pakaian seolah mengancam petugas yang dinilai lelet mengatasi hal sesepele ini. Petugas yang awalnya mencoba meredam suasana dengan nada yang santun, mulai meninggi nadanya karena ibu paruhbaya itu datang ke meja petugas sambil membawa seorang anak lelakinya yang mengancam hendak menjemput paksa ibunya karena kasus ‘telat kirim makanan’. Singkat kata singkat cerita, ibu tersebut kembali meletakkan handuk dan tasnya di atas kasur dan menyantap konsumsi yang sudah diberikan oleh petugas tadi.
            Menuju sore, lagi-lagi ada saja yang menyulut api-api kecil. Seorang kepercayaan tim medis –entah siapa, sedang bergiliran menjaga meja pemeriksaan, karena makin sore keluarga para penghuni makin berdatangan membesuk.
Sudah dihimbau untuk tidak bergerombol, kenapa masih diperbolehkan untuk menjenguk ? bukannya ini sama saja dengan menambah kekhawatiran penyebaran ke orang yang sehat?
            Kemudian, datang seorang dokter didampingi seorang lagi. Menuju meja pemeriksaan sambil berucap, “Pak, sekarang keluarga tidak boleh membesuk. Karena sama saja ini dengan berkerumun, pak”, sang bapak yang ditugaskan sepertinya sedikit membela diri, karena sejak awal tak ada yang memberitahukan sebelumnya. Maka,saat itu juga jam besuk ditiadakan. Dan dengan secara terpaksa, para petugas medis harus mempersilakan keluarga yang membesuk untuk pulang lebih awal.
            Lucunya, entah ini benar atau opini saya yang salah. Hari ini, tempat karantina kedatangan rombongan dari petugas sipil. Polisi muda. Saya tidak tahu kenapa mereka yang masih berseragam tiba-tiba harus masuk ke tempat karantina. Bisa jadi mereka baru saja tiba dari tempat pendidikan, ataukah sedang bertugas keluar kota. Saya sendiri dan para penghuni pun tidak tahu. Tapi, yakinlah, rasa keingintahuan itu tetap muncul haha.
            Menuju malam ketika santap berbuka, ternyata saya kedatangan tamu spesial. Adik kelas semasa SMP-SMA saya, Melita, datang sambil memberikan buah tangan. Katanya, dari ibu teman saya – yang juga – kenal – dengan dirinya. Ya, beliau yang baik itu bernama tante Anik. Kantong kresek berwarna putih yang didalamnya adalah sebungkus plastik mika berisikan delapan bulat donat gula salju, serta menyisipkan uang senilai Rp 50.000.
            Ternyata, setelah lama menjadi alumni SMAK Mater Dei, saya kehilangan kabarnya yang juga berkuliah di Kota rantau yang sama. Malang. Sekali lagi saya mengatakan, bersyukur! Tuhan tidak memberikan saya waktu cuma-Cuma untuk dihabiskan seorang diri saja. Bahkan, di tempat karantina yang begitu ditakuti banyak penduduk Indonesia. Akhirnya, saya diberikan teman untuk mengobrol malam ini juga, bertukar nomor ponsel lagi, dan percakapan malam ini begitu intens. Padahal, semasa sekolah, kenal pun hanya sebatas menyapa. Kejadian yang tidak terduga. Terimakasih semesta.

Selasa, 28/04/2020
            Tepat di hari ini, konsumsi tidak diantarkan seperti hari-hari sebelumnya. Barangkali petugas yang merasa tidak ingin menambah masalah, berinisiatif lain agar penghuni tetap bisa makan teratur.
            Akhirnya, petugas menyediakan alat pengeras suara supaya tiap ada informasi, para petugas tidak perlu mendatangi ruangan satu-persatu lagi. Cerdas. Setiap ruangan disebut menurut urutannya. Mulai dari yang terkecil,sampai yang paling akhir. Yakni R 35, ruang karantina saya dengan kedua KK perantau Bali.
            Sambil memeriksa suhu tubuh, kemudian mengambil konsumsi yang telah disediakan petugas di meja pemeriksaan. Bersyukurnya, hari ini suhu tubuh saya kembali normal berada di angka 36,4o celcius. Lega rasanya. Jujur, meski tidak merasakan gejala apapun, dag-dig-dug dalam hati itu tetap ada. Entah kenapa berhadapan dengan para tim medis dengan penggunaan APD (Alat Pelindung D...) yang lengkap, beda rasanya ketimbang berhadapan dengan dokter pada umumnya. Seperti ada tantangannya tersendiri. Bayangkan, kalian yang biasanya hanya melihat para tim medis dari televisi bahkan media sosial dengan APD lengkap, dibandingkan saya yang harus terjun langsung, menyaksikan di hadapan saya bahwa mereka nyata. Bukan main rasanya.
            Setiap hari pasti ada pemeriksaan terhadap para perantau yang baru saja tiba. Mulai dari yang sudah cek kesehatan dari tempat rantau, dinyatakan bersih dan sehat, sampai di tempat karantina covid-19 SMKN 2 Probolinggo, tetap harus menjalani isolasi. Tanpa bisa memilih karantina mandiri, bahkan ruangan mana tempatnya akan diisolasi. Semuanya mengikuti prosedur.
            Diantara mereka yang selalu mengikuti prosedur, ternyata masih ada saja orang-orang yang menolak untuk dikarantina selama empat belas hari dengan alasan yang beragam. Mulai dari alasan kesehatan yang mendukung, orangtua di rumah tidak ada yang menjaga, sampai ancaman akan memanggil kerabat dekatnya yang berprofesi sebagai kepala dinas pun menjadi alasan yang diandalkan warga.
            Beruntungnya, hingga di hari ke-lima, saya yang kelihatannya santai-santai saja. Tetap merasa jenuh. Meski pada akhirnya, harus –membuat – kesibukan –supaya – tidak – begitu –mengganggu mental.
            Seperti yang saya katakan sebelumnya. Lagi-lagi saya diberi kejutan lagi  . Melita, adik kelas semasa saya bersekolah di Kota Probolinggo mengajak seorang perempuan sebaya kami dan mengajak berkenalan. Beruntung, saya yang lagi-lagi menyukai suasana baru dan selalu antusias dengan pertemuan orang-orang baru, selalu terbuka untuk menerima darimanapun latarbelakangnya. Lagi-lagi, semesta seperti berkonspirasi. Perempuan yang ternyata datang kemarin sore dan agaknya sedikit keberatan bila dikarantina itu, saat ini menjadi teman kami. Ya, ia sedang menjalani semester akhirnya untuk ngebut skripsi karena pandemi covid-19. Pulang kampung dengan bis kota ternyata tidak mengurungkan niatnya, meski kenyataannya ia harus betul-betul mengalami karantina karena laporan dari warga. Dia Irma. Mahasiswi akuntansi dari Universitas Negeri Malang.


Rabu, 29/04/2020
            Sekitar pukul 9 pagi, setelah saya selesai keluar dari kamar mandi. Ada satu hal menarik. Dari arah berlawanan, saya mendengar suara pecahan kaca. Setelah saya tengok,ternyata pria paruhbaya sedang berpegangan pada sebuah tali rafia yang diikatkan untuk memberikan batas para karantina supaya tidak keluar area. Penglihatan saya memang kurang jelas,karena saat itu tidak menggunakan kacamata. Pria paruhbayaSuhu tubuh kembali di cek. Sama seperti kemarin, suhu tubuh saya berada di angka 36,4o celcius. Netral. Sama sekali tidak ada gejala dan keluhan-keluhan lainnya. makan pun terasa tetap nikmat-tak nikmat. Alasannya klasik, karena tidak berkumpul dengan keluarga sendiri.
            Logistik masih tetap dengan sistem baru, dipanggil menurut ruang karantina. Dan saya yang masih belum bisa berpuasa, harus mengalah tidak mendapat jatah sarapan, karena digantikan dengan sahur.
            Dan, ini yang ditunggu-tunggu. Pengambilan darah untuk dijadikan sampel (istilah kedokterannya, DL. Saya sendiri masih belum mencaritahu apa itu DL). Setelah mengantre, ternyata saya kebagian terakhir dari seluruh penghuni R 35. Bersyukur , tidak ada kendala yang berarti. Untuk hasilnya, bisa satu sampai dua hari kata dokter.
            Sepertinya, kedatangan tamu membuat saya selalu berani untuk terbuka dengan beberapa orang yang mampu terbuka dengan saya. Pasalnya, seorang Irma. Perantau semester akhir yang sedang terhalang skripsinya karena corona, ternyata juga begitu welcome untuk membaca banyak hal dari saya. Termasuk dalam soal asmara. Tak disangka, dia yang sejak awal saya kira pendiam dan penuh keanggunan, bisa sebegitu terbuka dan blak-blakan menilai apa yang dapat dia tangkap dari cerita saya. Dari sana, kami mulai cerita satu sama lain. Begitupun dengan Melita yang nyatanya baru kali ini kami berkomunikasi secara mendalam.
            Dengan adanya Renta, anak pertama dari pasangan Pak Rudi dan Bu Lisa, perantau dari Pulau Dewata, Bali. Ternyata, menjadi salah satu bahan kami berbicara dengan santai dan terbuka soal cara mendidik anak. Entahlah, sampai sejauh itu kami berbincang di malam hari – di tengah karantina. Sebab, adanya Renta, kami secara terbuka mengajak bercanda bocah itu karena bagi kami ia kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya. Begitupun si Irma yang ternyata begitu menyukai anak kecil. Jadilah kami bertingkah dengan hiperaktif itu. Hari ini, masa karantina saya, saya anggap berhasil. Rasa suntuk tidak berguna lagi.

Kamis, 30/04/2020
            Bangun pagi, mandi, kemudian sarapan –karena saya sedang datang bulan, belum bisa berpuasa, dan dilanjut membuka smartphone yang baterainya sudah terisi penuh. Lalu, iseng membuka berbagai info yang saya tinggal sejak semalam. Membagikan sinopsis film pendek ke salah satu teman melalui whatsapp, kemudian membuat status “One Week”. Tepat di hari ini, seminggu saya dikarantina. Tidak sabar rasanya kembali bertemu ibu dan adik di rumah. Melepas keluh kesah selama karantina, atau mungkin tak perlu sama sekali. Bisa jadi, bagi saya itu sudah cukup menyiksa rindu ibu dan adik karena kegagalan saya pulang kampung sejak tanggal 24 kemarin. Mungkin saja, akan saya alihkan dengan menghibur adik dengan membuat video kreasi, ataupun membuat foto estetik, dan juga membagikan sedikit ide kreatif saya selama kuliah daring di Kota Malang, membuat jurnal estetik. Atau bisa jadi, akan saya ajarkan adik saya untuk membuat gelang dari tali polyester. Itu inisiatif saya untuk hutang yang perlu saya lunasi selama proses karantina.
            Cek suhu tubuh, saya kurang begitu dengar dokter menyebutkannya. Entah 36,5o C, atau 36,8o C. Saya sendiri tidak menanyakannya lagi,karena harus bergantian dengan para perantau lain. Sempat saya tanyakan dokter tentang hasil lab, dan ternyata masih belum sampai juga sejak pengambilan darah tgl 29 April. Kendati demikian, ketika dokter yang lain saya tanyakan lagi, seluruh hasil lab menyatakan negatif. Dari sudut pandang kedokteran, para pemudik ini sudah bisa dinyatakan pulang lebih awal, karena tidak ditemui gejala-gejala berarti. Tetapi, pihak walikota masih belum berani memberikan izin para pemudik ini untuk keluar lebih awal, karena mewaspadai adanya penularan jika belum lengkap empat belas (14) hari diisolasi.
            Sore, sekitar pukul 16.00 WIB. Kami mendengar kabar bahwa salah satu rekan kami di satu ruangan diberikan izin pulang lebih awal, karena sudah dipertimbangkan berbagai halnya. Keluarga Pak Rudi, ayah dari bocah bernama Renta, pemudik asal Denpasar,Bali, ternyata sudah lebih dari sepuluh hari melewati masa isolasi sejak pemerintah Kota Probolinggo menempatkan lokasi karantina di Homestay Dharmo, kemudian mereka melanjutkan isolasi di SMKN 2 Probolinggo. Perpisahan antara saya dan penghuni lainnya dengan keluarga pak Rudi ternyata berkesan baik. Pasalnya, kedua anak Pak Rudi berhasil membuat suasana yang sebelumnya sepi menjadi ramai, dan selama 3-4 hari kedepan menjadi sepi kembali. Bersamaan dengan kepulangan keluarga Pak Rudi, banyak pemudik yang mulai berbondong-bondong menuju ke meja petugas, karena ‘tak terima’ beberapa pemudik lain diperbolehkan pulang lebih awal. Mereka membela diri dengan menyatakan bahwa mereka pun datang di hari yang tidak jauh dari mereka yang diperbolehkan pulang. Para tim medis sudah menjelaskan perihal izin yang diberikan tersebut, bahwa mereka yang diberikan izin pulang lebih cepat, karena diantaranya membawa balita dan penderita penyakit kronis. Para tim medis mengkhawatirkan jika hal itu disamaratakan dengan para pemudik lain, maka akan menambah resiko penularan. Sayangnya, sekali lagi, para pemudik tidak lega dengan penjelasan tim medis.
            Malam harinya, R 35 berpenguni tiga orang. Dua orang itu adalah seorang ibu paruhbaya dan seorang anak usia 7 tahun, sisanya adalah saya seorang. Kami mengkhawatirkan kalau satu keluarga diperkenankan pulang lebih cepat dari masa karantina, akan bertambah dengan masuknya pemudik baru yang akan mengisi ruangan kami. Konon tersiar kabar, sistem untuk pengisian ruangan karantina adalah mereka diperkenankan seluruhnya keluar, baru akan dibersihkan , kemudian baru bisa diisi pemudik baru lagi. Puji syukur, itu yang saya pikirkan. Setidaknya, kami akan keluar dari ruang karantina dengan rasa aman dan nyaman karena dibiarkan bertiga dalam satu ruangan. Di luar kendali saya sebagai anggota karantina, saya juga tidak diberikan kejelasan mengenai bagaimana teknis untuk sterilisasi ruang karantina. Benar atau salah, semua itu akan terjawab ketika menuju akhir masa karantina.

Jumat, 1 Mei 2020
            Ruangan mulai sepi diisi oleh 3 orang saja. Makan sahur dan berbuka juga dikelilingi dengan 3 kepala saja. Kami sempat berbincang seputar hari tepat yang akan diberikan untuk kami bertiga. Kalau memang benar rumor yang beredar bahwa di hari ke sepuluh penghuni karantina diperbolehkan pulang lebih cepat dengan beberapa syarat yang harus dipatuhi setelahnya.
            Pagi harinya, hal yang membosankan datang lagi. Setiap hari para pemudik rewel karena hanya dipanggil untuk cek suhu tubuh. Begitupula saya, selalu menampung segala keluhan dan ketidakpuasan para pemudik (rantau) yang merasa dirinya tidak digubris masukan dan kritikannya oleh petugas. Entah itu pada para tim medis ataupun petugas non medis. Akhirnya, tetap kami ikuti prosedur yang ada.
            Petugas medis siap memeriksa para pemudik dengan dipanggil menurut ruangan paling awal hingga paling akhir.  Seperti biasa, setelah di ‘tembak’ dokter dengan alat sensor suhu, angka saya berada di 37,3o C. Tinggi memang, tapi saya baik-baik saja dengan keadaan yang tanpa gejala apapun. Hanya saja para petugas melakukannya terlalu siang, di tengah suhu kota yang kian siang kian terik. Apakah itu wajar? Saya rasa sah-sah saja, karena suhu daerah mempengaruhi suhu tubuh juga. Bahkan seperti saya yang datang dari kota dingin menuju Probolinggo, yang notabene tingkat teriknya cukup tinggi.
            Selepas pengecekan suhu badan, kami kembali ke ruangan. Rehat. Tidur. Tidak melakukan aktivitas yang menurut kami adalah kegiatan yang diberikan selama karantina. Sesuka kami. Hingga pada akhirnya, saya sendiri pun bosan, dan memilih untuk berkumpul dengan teman saya sendiri, yakni Irma dan Melita, bercerita ngalor-ngidul, kadang juga berbagi akun media sosial, sampai bertukar nomor Whatsapp, sembari menantikan waktu berbuka.
           
            Malam harinya, kami menuju ke surau untuk shalat tarawih. Saya pikir, disana akan ada pelebaran jarak untuk shalat, ternyata dugaan saya salah. Jarak hanya berlaku sedikit, dan penggunaan masker pada para pemudik berkurang, entah karena alasan shalat yang kurang leluasa, atau hal lain. Intinya, ketakutan bahwa covid-19 masih bisa saja menular, tidak digubris. Waktu tarawih usai, kami beranjak menuju ruangan karantina lagi. Aktivitas kembali menyibukkan masing-masing penghuni.



Sabtu, 2 Mei 2020
            Langsung saja ke siang hari–karena–tidak–ada–aktivitas–yang–berarti–di–pagi–hari. Saya lupa, sekitar pukul berapa. Tiba-tiba, petugas (seperti perawat laki-laki yang berseragam serba coklat, dengan atribut lengkap) masuk ke ruangan 35 menata kasur yang tadinya digelar di lantai ke atas dipan. Ibu Yuliati sontak menanyakan “mau diisi siapa,pak?”, beliau menjawab bahwa akan ada 2 santri dari sebuah pondok yang akan mengisi ruangan ini. Menuju siang hari, saya dan bu Yuliati masih belum sempat berkenalan, karena si penghuni baru tampak masih beradaptasi dan masih shok dengan keadaan karantina.
            Saya pikir, akan ada pemeriksaan seperti biasanya. Ternyata, para petugas medis kekurangan tenaga. Lebih pada para pemudik yang berdatangan bertambah. Aktivitas penyemprotan ruangan dilakukan lagi. Suasana yang masih sepi dan membosankan tetap terasa.
            Singkat kata, singkat cerita. Menjelang berbuka, saya dan bu Yuliati baru bisa mengajak kedua santri itu berkenalan,bicara ringan-ringan saja karena mereka masih tampak shok. Dari situ kami mengerti nama kedua santri itu, Wardah dan Fifi. Asal ngawi dan juga mondok di Gontor. Wardah sedang menyelesaikan skripsinya, ia berusia sekitar 21 tahun. Dan fifi, gadis lugu dengan tingkat kecuekannya di karantina yang ternyata baru saja lulus sekolah tingkat menengah atas.
Minggu, 3 Mei 2020
            Sahur bersama kedua santri dan bu Yuliati beserta anaknya. Pagi harinya, tiba-tiba harus bangun dengan tergesa karena suara ramai penghuni. Terdengar sumber suara dari meja tim medis, menyiarkan perihal kepulangan nama-nama yang disebutkan untuk berkumpul ke meja medis untuk diperiksa ulang. Nama bu Yuliati dan anaknya masuk dalam daftar kepulangan pemudik yang diperkenankan pulang lebih cepat. Tapi, ada hal yang janggal. Nama saya tidak masuk dalam daftar panggilan. Ternyata, usut punya usut meski saya datang ke tempat karantina di waktu yang bersamaan dengan bu Yuliati, hitungan medis adalah sehari setelah sampai di rumah baru dihitung satu hari. Dan saya, harus mengalah menunda sehari kepulangan dari karantina.
            Malam harinya ketika selesai berbuka,ruangan 35 hanya diisi 3 penghuni. Dengan penghuni lamanya yang hanya saya seorang. Barulah setika selesai berbuka, salah satu tim medis meminta izin untuk menempatkan satu penghuni lagi pindahan dari ruangan sebelumnya, karena di kamar sebelumnya ia sendirian.
            Singkat kata, saya, Melita, dan Irma kembali bertemu di depan ruangan kamar saya. Sekadar bersenda gurau dan berbicara hal-hal ringan. Tiba-tiba, Irma berinisiatif untuk menanyakan perihal SOP dan sharing dengan para tim medis dan juga para penjaga karantina yakni sekelas tentara dan Babinsa,juga polri. Kami punya keinginan untuk memberikan saran tentang SOP karantina yang semestinya diberlakukan di semua tempat karantina di kota kami,Probolinggo. Tapi, sayangnya, salah satu pihak merasa tersinggung. Kami dikira pembangkang oleh seorang driver ambulance yang dengan nada tinggi dan kasar menuding bahwa kami tidak percaya dengan petugas medis setelah kami sharing perihal yang sama. Memang dari situ kami tidak ada niatan untuk seolah-olah mendemonstrasikan ketidaknyamanan kami di tengah karantina. Melainkan, kami bingung harus mengadu kepada siapa untuk keluhan-keluhan yang kami sampaikan karena banyaknya laporan warga yang menjadi pasien karantina selama kami di tempat yang sama. Akhirnya, merasa tidak mendapat jawaban yang pas, kami bergegas untuk mengalah dan kembali menuju ruang karantina.

Senin,4 Mei 2020
            Hari yang ditunggu-tunggu. Kabar diperbolehkannya saya pulang, akhirnya terwujud. Setelah melalui sahur dan berbuka di masa karantina tanpa di kelilingi keluarga sedarah, akhirnya semua keluhan itu luntur. Nama saya dipanggil untuk diambil sampel darah pada lengan kanan. Kemudian, ditunggu sekitar satu dua jam. Saya kembali menuju meja pemeriksaan dan dihimbau untuk menghubungi pak RT/ RW yang bersangkutan. Akhirnya, giliran saya yang dipanggil dan dinyatakan boleh pulang. Sebelumnya, saya diperintahkan untuk tidak keluar rumah selama tambahan hari sebanyak empat hari itu. Setelah empat hari, saya diwajibkan kontrol kesehatan ke puskesmas terdekat untuk mengetahui keberlanjutan suhu tumbuh dan apakah saya memiliki keluhan atau tidak.
            Berita ini sampai di telinga sanak famili juga teman-teman terdekat. Ada yang memberikan ucapan selamat karena sudah ‘terbebas’, sehingga bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Seperti teman lama ketika saya duduk di bangku SMP, dia meminta saya untuk bertemu. Katanya ada yang ingin diberikan. Emlinda namanya. Sambil menunggu adik menjemput saya ke SMKN 2 Probolinggo, saya bergegas membereskan perlengkapan yang saya bawa semenjak sampai ke kota ini. 2 tas ransel, 1 tas kecil, dan 2 tas kresek berisikan pakaian kotor juga makanan yang terlanjur ditimbun banyak semenjak dikarantina.
            Pengalaman yang luar biasa selama saya berada di tempat karantina bersama orang-orang yang beda karakter, berbeda latarbelakang, berbeda tempat rantau, dan dengan segala bentuk emosinya. Di samping itu, saya juga tahu apa alasan mereka ‘nekat’ mudik demi bertemu keluarga. Biaya kehidupan di rantau di tengah pandemi dan kekhawatiran mereka jika semua belum membaik tak bisa bertemu keluarga untuk waktu yang tidak bisa mereka tentukan. Luar biasa. Semoga pandemi ini benar-benar segera berakhir. Saya tidak bisa membayangkan semua hal makin terpuruk karena wabah ini.



You Might Also Like

0 coment�rios

Like us on Facebook