Panjang-lebar

December 07, 2017






      Pernahkah kalian mendapatkan suatu pemikiran atau inspirasi, kemudian bingung apa yang harus dilakukan, sedangkan ide itu harus segera dituangkan karena khawatir lupa dan kalian tak membawa alat tulis, seperti buku dan bolpoin. Mumpung suasananya pas nih, atau mumpung masih terbawa suasana, atau bisa jadi lokasi yang membuat kalian terinspirasi itu diluar batas kemampuan kalian. Misalnya, (maaf) kamar kecil atau WC hihihi. Nah, kemungkinan besar untuk menulis dan sedia buku-bolpoin juga kecil, kan? Jadi, apa yang terpikir di benak kalian di masa yang serba instan ini? Smartphone. Ya, benar sekali. Siapa diantara kalian yang setuju dengan pernyataan ini pasti akan mengangguk-angguk membacanya. Atau bisa jadi saat kalian sedang dalam perjalanan dan menaiki kendaraan umum, saat sedang perjalanan dalam bis, kereta, bahkan motor sekalipun pasti ide itu keluar dengan sendirinya. Atau bisa jadi, tanpa disadari kalian `nyeletuk` mengucapkan sesuatu yang perlu dan penting kemudian setelah itu lupa. Hanya angin yang lewat.

        Nah, pengalaman saya pun demikian. Saya bukan seorang yang sejak lahir pandai dalam segala hal. Apapun harus di ingat-ingat, bahkan saya pernah akan mengucapkan apa tau-tau sudah diucapkan orang lain dan saya pun kesal, karena itu ide saya, itu milik saya. Dan saya kehilangan ide yang saya sombongkan bahwa tanpa saya tulis pun, ide itu tak akan ada dalam pikiran orang lain. Ternyata saya salah. Saya terlalu menyombongkan diri dengan kemampuan yang saya miliki, tanpa melihat kelemahan yang tidak saya sadari.

        Lupa. Tanpa kita sadari lupa menjadi salah satu penyakit yang cukup bahaya, karena akibatnya akan merambat kemana-mana. Bayangkan saja, saat terburu-buru , dikejar waktu, dikejar janji, dan kepercayaan, sedangkan tanpa adanya persiapan akan merusak langkah-langkah yang harusnya berjalan selaras. Berantakan. Sama halnya dengan ingatan. Bagi saya, yang mulai saya sadari bahwa saya cukup pelupa. Dari sana, saya mulai membuat sistem untuk diri saya. Menyiapkan buku kecil berukuran A5 dan minimal ada satu buah bolpoin yang saya siapkan dalam tas kerja saya, karena diluar jam kuliah perlengkapan menulis pasti hampir tak pernah disiapkan karena saya pikir nantinya akan menyusahkan aktivitas saya. Begitulah yang saya alami.
     
        Baru-baru ini, saya mengalami kejadian tentang `kehilangan` ini untuk kesekian kali. Sedikit cerita, saya mulai menyukai dunia sastra yang semakin menggebu saat saya berkeputusan untuk cuti kuliah dan memilih untuk bekerja lebih dulu. Fokus pada jalan lain, sebagai bekal persiapan lanjut sekolah lagi. Dan benar, terjadilah. Kuliah kujalani selama satu tahun dengan berbekal ijazah SMA. Loh katanya kuliah, tapi bekalnya cuma SMA?, karena memang begitu. Itu jalan saya. Saya yang menjalani, itu sudah menjadi komitmen saya dengan jiwa raga saya. Resiko, konsekuensi, kompromi, semua hal tentang perjuangan semakin tajam di depan mata saat saya benar-benar tak memiliki se-sen pun dalam dompet. Jangankan di ATM, dompet saja hanya dipenuhi lipatan tagihan, list bayar hutang, bahkan struk laundry berteman dalam dompet. Mereka kenalan satu sama lain. Dan akrab.
     
         Dari sana, muncullah ide yang sebelumnya sempat membuat saya berpikiran "ah apakah saya bisa?", "apa saya cuma ingin tenar?", atau "ah saingannya banyak", "tulisan mereka bagus-bagus gitu. Jadi minder". Pernah, bahkan sering bertarung dalam batin. Tapi sekali lagi, kalau saya pikir-pikir untuk apa ya saya nulis sebanyak itu, bertumpuk-tumpuk buku dari zaman SD yang gaya bahasanya masih tak karuan, sampai saya lulus dari bangku putih abu-abu dan mulai mengenal cinta-cinta-an. Sudah penuh jadi penghuni lawas lemari kayu di rumah. Bahkan sampai warnanya coklat kekuningan. Usang.
       Sampai pada saatnya, saya baru menyadari kalau di ponsel yang saya punya ini, ternyata memiliki aplikasi untuk menulis dan menyimpan dalam catatan, lalu ada juga aplikasi kingsoft office yang bisa digunakan untuk mengetik serupa komputer pada umumnya. Akhirnya, saya mulai mengutak-atik isi ponsel saya yang luar biasa canggihnya itu. Lega rasanya setelah saya tahu ide-ide yang muncul dalam otak saya akhirnya tertuang melalui tulisan, tanpa membuang waktu untuk mencorat-coret kertas, tanpa bingung harus kehabisan tinta. Dalam sekali ketik, ide dapat tertuang dengan aman. Bisa langsung di dellete saat ada kata yang salah lalu saya ketik ulang, tanpa harus mengorbankan jari-jari imut ini bengkak karena seharian harus tergores kertas polos.
        Tapi ternyata, hal yang tidak diharapkan datang juga. Memori penyimpanan ponsel penuh, aplikasi berkomunikasi harus terhenti, dan pada akhirnya saya pun naik darah. Geram. Aktivitas ponsel terhenti, aktivitas menulis saya terhenti, aktivitas berkomunikasi saya pun ikut terhenti. Bingung, mau saya apakan ponsel ini. Tanya rekan-rekan kerja dan teman kuliah, mereka menyarankan untuk instal ulang, ada juga yang menyarankan untuk di flash-kan, tapi dengan catatan semua file yang saya miliki harus dipindahkan ke kartu memori. Semuanya. Kemudian saya ikuti saran dari beberapa teman yang menurut saya memungkinkan tanpa harus menghapus semua data. Seluruh file akhirnya masih bisa dipindahkan,aman. Tersisa memori telepon yang menjadi kekhawatiran saat sebelum menginstall ulang ponsel saya.
       Proses penginstallan berhasil, dan ponsel berjalan lancar, seperti semula. Aplikasi untuk berkomunikasi bisa digunakan lagi, tapi di saat itu juga, perasaan saya tak enak, seperti ada yang aneh. Cepat-cepat saya cek catatan, dan.. benar saja, berbaris ide yang saya tuangkan selama berbulan-bulan melalui catatan itu HILANG, tak tersisa satupun. Ide saya hilang dalam sekejap. Seluruh tubuh saya merinding kecewa. Kesal, geram, tapi ingin melampiaskan amarah kepada siapa saya pun tidak mengerti. Di satu sisi ada rasa lega karena ponsel sudah bisa berjalan seperti semula, di sisi lain amarah dan rasa ingin menangis itu ada. Seperti kehilangan seseorang yabg disayang, dan itu hal yang menyakitkan. Sama, bahkan dengan tulisan, ide, dan karya yang diharapkan nantinya akan menghasilkan royalti. Dan yang tersisa hanya kalimat "ya sudahlah, mau dikata apa, mau berbuat apa lagi? Sudah hilang, dan tidak bisa diharap kembali. Aku ikhlaskan saja." Tentunya dengan berpikir lagi, mengumpulkan ide lagi, menyusun lagi, mendaftar tanggal-tanggal lomba lagi, dan mengumpulkan link mengenai lomba menulis lagi. Lagi dan lagi. Lelah memang, tapi kalau saya berhenti di titik itu juga, saya kalah. Kalah dengan diri saya sendiri, sedangkan saya sadari persaingan semakin melesat dan saya tak bisa diam begitu saja.

       Inilah penjelasan dari tulisan sebelumnya. Jadi, begitulah alasan mengapa saya cantumkan puisi mengenai kekesalan, kekecewaan saya mengenai betapa teledornya saya dalam ingatan. Barangkali bagi sebagian orang menganggap ini berlebihan, tapi tanpa disadari hal yang saya alami ini bisa saja dialami beberapa bahkan sebagian orang. Pasti. Entah itu ide yang ia dapat menghilang begitu saja sebelum ditulis, atau hilang saat sudah ditulis, atau yang paling fatal HILANG saat sudah dipublikasikan dan di`curi` orang lain tanpa permisi (ya namanya juga dicuri, tanpa permisi pastinya).

Neni

Malang, 8 Desember 2017
09:36

You Might Also Like

0 coment�rios

Like us on Facebook