Apakah High Value Woman Tidak Butuh Laki-laki?

December 12, 2022




Apakah "High Value Woman" Tidak Butuh Laki-laki?

(source : pinterest)

Berbagai artikel yang saya baca belakangan ini mengenai high value woman, menjadi hal yang pro-kontra di berbagai kalangan. Ada yang menganggap kalau sebetulnya perempuan itu tidak perlu menciptakan standar kebahagiaan tersendiri, takut nanti dijauhi lelaki. Jauh dari jodoh, katanya. Ada juga yang mengatakan kalau high value woman itu hanya tameng seorang perempuan supaya tidak dijadikan mainan oleh laki-laki, biar nggak terkesan murahan. Jadi alibi memakai identitas high value woman. Sebenarnya, pro-kontra di masyarakat tentang topik ini sudah ramai diperbincangkan. Tapi juga tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk dibenarkan. Loh, jadi gimana maksudnya?


Ini dia, saya akhirnya ter-trigger untuk membahas topik menarik ini di blog saya pribadi. Banyak diantara lingkup pertemanan saya yang masih menganggap bahwa perempuan dengan standar kebahagiaannya yang begitu tinggi jadi dianggap terlalu sulit dijangkau oleh laki-laki. Emang benar begitu, ya? Saya jadi kepikiran, apakah saya salah satu contoh hight value women atau hanya sisi defensif saya aja yang terlalu kuat, sehingga membuat pagar pada relasi pribadi ?


Hal ini menarik, ketika belakangan ini saya baca-baca beragam ulasan dari para blogger dan penulis lainnya, bahkan sampai diangkat ke berbagai platform media sosial yang mengangkat tema tentang hal serupa, memicu banyak sekali pendapat yang beragam. Ternyata dari situ, banyak sekali sudut pandang yang mereka gunakan. Saya penasaran, apa iya wanita dengan identitas di masyarakat yang "high value woman" itu tidak butuh laki-laki? Nah, sini saya jelaskan menurut pandangan saya.


(source : pinterest)

Begitu banyak fase yang sudah saya lalui. Bersama dengan berbagai orang, cerita dan peran di dalamnya. Masa-masa yang redup dan terang berada pada porsi yang tidak selalu tepat, tapi setelah dilalui, semuanya berjalan seimbang ketika sudah sadar telah melewati fasenya.

Bukan sekali dua kali rasanya mencari penyakit dengan menggali lubang sendiri lalu menyalahkan dan memaki-maki keadaan. Bahkan yang tampak kuat dari luar, sebenarnya juga tidak begitu-begitu kuat amat. Tapi juga tidak terlalu keropos. Bukan tidak mungkin keinginan untuk tidak mengeluh itu ada. Namun, apa mau dikata, segan dan gengsi tak mau diketahui orang lain ketika sedang sedih, menutup cermin dan mengatur situasi merasa paling pegang kendali.


Biasanya, keadaan seperti ini selalu muncul ketika terpantik oleh beberapa hal yang tidak cukup dijelaskan dengan senyuman. Ada kalanya, perlu sedikit penjelasan untuk memberikan pengertian pada mereka apa benar, pernyataan bahwa wanita dengan kekuatan super yang digadang-gadang sering disebut sebagai high valued tidak membutuhkan laki-laki dalam hidupnya? Tentu menjadi sebuah polemik.

 

Beberapa waktu lalu, hal ini sempat saya jadikan sebagai pembahasan menarik di kalangan teman-teman di circle yang berbeda. Bukan kumpulan anak-anak literasi ataupun forum-forum resmi. Hanya sekadar nongkrong di tepian kaki lima. Saya yang memantik sebagai pembuka. "Bagaimana tanggapan laki-laki tentang wanita yang bernilai tinggi?", kemudian banyak reaksi yang bermunculan ABCDE sampai Z, sampai akhirnya ditemukanlah titik temu di sana. Bukan sisi kekuatan wanita bernilai tinggi yang dibahas, tetapi apa yang menjadi kebutuhan antar personalnya yang bisa menjadi titik tengah. Sisi itu bernama kelemahan. Sisi wanita bernilai tinggi (high value woman) atau independence woman sebenarnya tidak melulu tentang kekuatan. Dia perlu disentuh sisi kelemahannya dan diyakinkan bahwa sebenarnya sisi feminitasnya perlu dilindungi, meski di era sekarang wanita sudah banyak yang tahu cara melindungi diri. Tapi tidak menutup kemungkinan sisi feminitasnya lemah juga ketika tidak ada sisi maskulinitas yang memvalidasi keberadaannya. Ah gimana ya jelasinnya? Begini, seperti contohnya saya. Tapi, jika dibilang saya adalah salah satu contoh wanita yang independen dan high value woman, juga tidak sekeras itu. Ada sisi lemah saya yang ingin dilindungi. Kami juga makhluk yang perasa. Tidak bisa menolak adanya perlindungan dari pihak luar, dan hal itu dimiliki oleh kaum adam. 


Sedangkan dari sisi kelemahan yang dimiliki kaum adam, ada pada titik dimana sisi maskulinitasnya juga perlu diakui. Ketika sisi maskulinitas itu tidak diakui, malah melemahlah pula keyakinannya bahwa dia tidak pantas untuk perempuan yang diidamkannya. Bukan aksi heroik yang fantastis yang ingin dilihat kaum hawa sebenarnya. Contoh kecilnya, sekadar membukakan pintu mobil saja atau menurunkan step motor sudah menjadi aksi heroik yang ketika dilihat kaum hawa itu hal istimewa, sebenarnya. Tapi akan jadi keliru, ketika wanita di luar sana mengelak bantuan-bantuan kecil dari kaum adam, maka sebenarnya dia sudah menolak sisi maskulinitas itu ada di sekitarnya. Kasarannya, dia menyulitkan dirinya sendiri secara mentalitas. Padahal, menadapatkan bantuan dari laki-laki itu tidak masalah.


Dari situ, sebenarnya perlu adanya pemberhentian. Berhenti sejenak bahwa “Look! I can do anything” ini perlu direm. Dimana wanita dan laki-laki yang saat ini posisinya terbalik. Saya menyadari hal ini juga. Sisi kartini dalam wanita makin kesini memang terlalu diartikan berlebih. Sehingga istilah high valued dan tidak butuh laki-laki itu menjadi hiperbola. Padahal, bisa jadi itu hanya denial karena ingin dilihat tangguh saja. Lepas dari semua hal tentang materi, kembali lagi pada diri pribadi wanitanya. Ada yang suka dikejar-kejar, tapi setelah didapatkan dia melarikan diri. Ada yang setengah-setengah melangkah, ragu-ragu lalu menghilang. Tapi tidak sedikit yang bisa diajak duduk bersama, menikmati percakapan-percakapan kecil sampai yang paling rumit dan melepaskan atribut high value woman itu tadi. Lebih tepatnya, memposisikan diri saja, itu ada. 


Percayalah, wahai kaum adam. Se-high valued apapun kami, ada hal yang sebetulnya bisa melengkapi kami. Sisi maskulinitas. Kami hanya belum menemukan sisi itu dari sekian relasi yang kami temui. Kami (saya), menyadari bahwa hight valued itu bukan setiap saat diperlakukan layaknya seorang tuan putri. Kami menyadari, jika memang harus dicontohkan sebagaimana seorang tuan putri yang dipertemukan pangeran, perlu juga bagi kami untuk memperlakukan laki-laki selayaknya pangeran berkuda putih yang datang setelah dari peperangan untuk memperebutkan kami (Kaum hawa). Maka, ini makna yang saya temukan pada akhirnya.


Menempatkan diri di tempat semestinya. Tidak menjadikan mahkota yang hanya bertengger di atas kepalanya –yang menjadikannya mewah dan disegani, melainkan memposisikan gaun indah yang ia kenakan sebagai penutup tubuh dengan rapi – yang berbahan kain pilihan, seperti kain dengan jenis kain yang jatuh juga halus dan mudah dibentuk. Menuruti tiap lekukan yang dibentuk perancang busananya sampai menjadikannya tetap tampil anggun dan berwibawa. 

Tunggu dulu! Pengibaratannya terlalu jauh ya? Gini, gini, gini. Intinya, kami (saya) tidak selalu menjadi kaku dalam urusan memperlakukan lawan jenis. Saya meyakini, itu juga ajaran yang dibawa sejak lahir. Kenapa begitu? Ayah saya (almarhum), selalu mengatakan bahwa menjadi perempuan di era saya kelak (saat ini), akan menjadi begitu berat bagi kaum adam. Karena emansipasi sudah makin marak dan banyak kaum hawa yang makin sadar akan revolusi ini, sedangkan sisi maskulinitas dari sosok lelaki dipatahkan begitu saja, karena merasa dirinya bisa survive tanpa didampingi lelaki.


Dan mengenai ekonomi, berapapun kelak penghasilan suami yang diberikan, jangan pernah menyinggungnya atau mengomentarinya kurang bekerja keras karena hasilnya tidak seberapa. Disini saya mendapat nilai lebih tentang penerimaan. Neriman, kata orang Jawa. . Sebab itu bagian dari rejeki. Banyak hal yang perlu disyukuri, terutama hal-hal kecil seperti bagaimana kelak memperlakukan suami. Nah, dengan begitu kami (saya) punya bekal untuk tahu bagaimana memperlakukan laki-laki sejak dini. Cuma yaaa kalau melihat penulisnya langsung, emang sejudes itu, sih dasarnya aja mukanya kayak gini. Ketus, judes, kayak pengen makan orang. Cover yang mendukung untuk mengintimidasi. Tapi kalau soal naluri dan hati, ya gimana, namanya soal hati, siapa yang tahu kan?


Aduh, ngetik artikel ini mana lagi turun hujan. Baper juga kebawa emosinya. Jadi inget ayah, kan.. Ah, siapa nih yang request bahas hight value women. Nggak nggak, nggak sekeras itu, kok. Yuk lah sini, kita kenalan dulu sambil ngopi.


You Might Also Like

1 coment�rios

  1. Membaca dan menyelami kata demi kata yg ditulis Gendis, seolah seperti membaca diri sendiri. Saya ingin berterima kasih, sebab saya disadarkan, perihal pertanyaan " Siapa saya? "

    ReplyDelete

Like us on Facebook