SEBUAH PROSA YANG MESTINYA ENGKAU HARUS BACA (DENGAR)

August 26, 2019


Ini cukup menyedihkan. Bagi seorang anak perempuan yang tak tahu apa-apa mengenai sebuah kasih yang dipisahkan atas alasan yang tak masuk akal. Bukan karena saya yang nakal, atau kamu yang tak rasional.

Sebab sebelumnya kita tak pernah melampaui batasan-batasan norma. Bukan pula tentang pengakuan yang ada karena tekanan, bukan juga karena perasaan lawas sebab ditelan jauh-jauh oleh masa lampau.

Sudah sekian masa saya lewati hari seperti biasanya. Tapi sungguh, memori selalu berkuasa diatas penatnya kesibukan. Ia selalu berputar dan bernyanyi dalam kepala saya. Berlarian dalam lorong waktu tujuh tahun lalu.

Seorang anak perempuan yang dijatuhkan hatinya, kemudian ia rengkuh hati anak kecil itu, dan menjadikannya permata kecil yang sungguh berharga. Dan beruntung, disitulah ia telah memiliki hati anak kecil itu.

Namun kemudian, datanglah seorang wanita paruhbaya menghentikan raut bahagia anak kecil itu seraya berkata, "Barangkali bukan anakku yang tepat memiliki hatimu, dan bukannya kamu yang tepat dipilih anakku. Asal kalian sekedar bermain, aku akan tetap mengizinkannya. Tidak lebih." Begitu ujarnya.

Tetapi ada kalimat keji yang sebenarnya beliau sisipkan melalui tutur lembutnya. Saya dikatakan tidak lebih dari sekedar tempe yang bila dibandingkan dengan keju terlampau jauh bagi selera anak sulungnya itu.

Alangkah lembutnya ucapan wanita paruhbaya itu. Saya menerimanya dengan hati terbuka, tapi juga dengan mata yang penuh nanar.

Satu setengah bulan lamanya, anak kecil itu dihancurkan dari cintanya, dijauhkan dari harapannya, dari tawanya, dari sedihnya, dipatahkan dari semangatnya, dari kesan pertamanya mencintai sekaligus patah hati yang harus ia tanggung sendiri. Seorang anak kecil yang tak tahu apa arti patah hati.

Entah saat itu apa yang saya pikir, apakah kamu tengah menanggung patah yang sama ataukah selesai masalahnya saat itu juga?

Bagi sebagian orang, jatuh cinta pada cinta pertama adalah hal yang paling tidak mudah dilupakan. Tapi saya, lebih menitikberatkan pada tahap mengapa saya dipatahkan hatinya, bukan oleh kekasih saya, tetapi ibunya yang turut mencampuri urusan perasaan hati kami, lalu dibiarkan dengan jawaban yang tak menemui titik terang. Hingga detik ini.

Kendati demikian, gadis kecil yang saat itu harus patah disaat mencintai, tetap mencintaimu. Bahkan tak sampai hati menyebut namamu, sebegitu mendalamnya, sampai-sampai tak bisa sebuah inisial mampu saya tuliskan.

Barangkali, demikianlah saya mengabadikan kenangan indah saya bersama seorang nama yang masih selalu saya cintai seumur hidup saya.

Namun, sekali lagi. Penolakan tetap selalu ada. Ibu saya pernah hampir tak tega melihat saya harus meratapi kesedihan, berlarut-larut mengenang cinta yang silam, menyebut namanya saat itu menjadi hal paling sakral. Ya, karena saya sungguh mencintainya. Dengan atau tanpa syarat. Apa adanya.

Selang beberapa tahun, kabarnya sempat menghilang dari linimasa maupun di buku pencarian nomor telepon. Saya tak dapat menghubunginya. Nomornya tidak aktif. Saya kebingungan, bukan tanpa alasan. Sebab sebelum mendengar kabarnya menghilang, ada kabar miring yang menyatakan ia menjual rumahnya. Melalui seseorang.

Kemana kenangan saya itu pergi?
Dimana ia akan tinggal? Bagaimana kabar keluarganya? Saat itu juga, saya menumpaskan amarah dengan iba, sebab bundanya masih sempat berbuat baik pada saya. Wanitanya pernah berbuat baik pada saya. Tidak menutup kemungkinan bahwa hati saya selalu mudah terketuk akan perubahan kecil.

Lima tahun berlalu, Tiba-tiba sebuah pesan muncul di layar ponsel saya. Sapaan singkat yang sudah bisa saya tebak siapa yang mengirim pesan, dengan nomor baru yang belum pernah saya simpan. Dari pesannya, ia meminta maaf atas segala sikap masa bodohnya yang seringkali tak menghiraukan saya. Meski nyatanya kami mengaku saling merindukan, tetapi selalu terhenti dibalik kata "tapi mau gimana?"

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya saya selalu ingin merengkuhnya, sama seperti ia merengkuh hati saya dengan lembut dan penuh keyakinan. Saya ingin saat itu juga memeluknya, mengambil alih putaran waktu, lalu memutarnya ulang, dan memperbaikinya bersama. Mempertemukan dua insan dengan rindu yang berlumuran air mata. Memeluknya, memeluknya, memeluknya, begitu dekat, dalam dekap, sedalam-dalamnya dekapan.

Saya rindu mengusap air matanya, mendengarkan ia bercerita, melihatnya marah karena keadaan rumah, merindukan alunan piano yang selalu ia gaungkan di telinga saya, hanya ia putar untuk telinga saya saja. Dan saya tak hanya senang, saya sangat bersyukur dipertemukan dengannya.

Waktu sepertinya masih juga belum memberikan saya kesempatan untuk bertemu, sekalipun hanya saling tegur sapa. Nyatanya, empat tahun silam, terdengar kabar lagi bahwa pendidikannya sengaja ia tinggalkan, pekerjaannya ia tinggalkan, ia lebih memilih untuk mengurus permata paling berharganya, seorang wanita paruhbaya yang dulu pernah kusapa. Ia memilih melindungi orang tersebut ketimbang harus keluar rumah dan menjadikan nyawanya taruhan.

Sungguh pergolakan batin yang tak henti-henti.
Saya kira selama ini ia menghilang untuk mengelabui saya agar saya tak lagi mencarinya, tetapi kenyataannya jauh dari ekspektasi yang saya punya.

Sesungguhnya menjadi anak perempuan selama tujuh tahun itu tak begitupun menyenangkan. Sebab hatinya masih dibawa pergi oleh kekasih tujuh tahun itu.

Yang pasti, saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa akan ada tempat dimana kami akan dipertemukan kembali dan mendaratkan pelukan itu pada tujuannya.



Neni Eka Meidi

Malang, (harusnya 25) 27 Agustus 2019




You Might Also Like

0 coment�rios

Like us on Facebook