“Tidak ada bad boy yang naksir cewek pendiam, tidak ada ketua geng motor yang merangkap sebagai ketua OSIS, tidak ada juga anak CEO yang memamerkan gaya hidup hedonisme.”
Begitulah potongan sinopsis yang diperkenalkan oleh seorang penulis kelahiran Bogor, Adri A. Wisnu yang berhasil membawa kembali nuansa cerita anak SMA ke dalam novel keduanya yang berjudul “Anak-Anak Daksa”. Ceritanya mengesankan dan ringan untuk dijadikan teman minum teh sore-sore atau duduk di warung dekat rumah sambil jajan pisang goreng sampai warungnya tutup. Bisa bangeeet!.
Ditengah banyaknya buku-buku self-improvement yang berjajar di barisan rak “Best Seller” toko buku sekelas Gramedia sampai munculnya book reviewer di media sosial–yang memberikan informasi tentang rekomendasi buku best seller “wajib kamu punya”, sepertinya mereka lupa kalau masih ada penulis yang hidupnya terlihat seperti nggak punya krisis apa-apa tapi karyanya juga layak dimasukkan dalam daftar buku yang layak direkomendasikan.
Sampul Novel "Anak-Anak Daksa" Karya Adri A. Wisnu. |
Sama seperti karya keduanya yang berjudul “Anak-Anak Daksa” ini, penulis terang-terangan menyampaikan lewat salah satu tokoh utama di awal ceritanya bahwa, “....Cowok SMA yang dipanggil Ren itu bukan cowok ganteng yang digandrungi banyak cewek. Bukan juga anak OSIS, anak Band, anak basket, anak futsal, anak taekwondo, anak dance, atau anak-anak berjulukan lainnya. Dia cuma anak SMA biasa yang nggak banyak gaya.” Dari potongan pembukanya saja si penulis ingin menunjukkan kalau dia ingin menyampaikan kisah anak SMA yang sebenar-sebenarnya anak SMA. Bukan ingin memberikan janji yang muluk-muluk bagi pembacanya kalau di ending bakal muncul pangeran berkuda putih menjemput tuan putri yang tertidur bertahun-tahun lamanya.
Banyak yang mengira, “Anak-Anak Daksa” ini berisi tentang kehidupan anak-anak yang kurang beruntung dan hidup dalam keterbatasan. Ternyata, kita semua salah. Pemilihan nama itu benar-benar fiktif belaka. Penulis mengatakan, pemilihan judul hanya faktor ketidaksengajaan saja. Sengaja dipilih untuk mempermudah ingatan pembaca, mempermudah penyebutan dan menggambarkan cerita keseharian murid-murid yang bersekolah di SMA Daksa itu sendiri. Tentunya dikuatkan dengan masing-masing karakter tokoh yang berbeda-beda.
Halaman terakhir : pengenalan penulis novel di halaman akhir novel "Anak-Anak Daksa". |
Sekali lagi, apresiasi tertinggi untuk sang penulis Adri A. Wisnu yang mengklaim novel sebanyak 184 halaman ini menjamin pembacanya tertawa. Tentunya, kalau sudah baca novel dan berhasil ikutan tertawa geli, kabarkan ke teman ceritamu juga kalau buku ini hampir nggak ada celahnya. Kan, sayang kalau mau cerita, tapi teman kamu nggak related sama ceritanya.
Isi
Penulis menampilkan karakter tokoh utama yang bernama Narendra Narasimha atau Ren. Penggambaran tokoh dan kelakuan konyolnya ditampilkan dengan natural dan tidak muluk-muluk. Seperti kebanyakan anak SMA lainnya, pasti ada beberapa siswa yang jahil di SMA Daksa. Salah satunya Ren. Kadang, saking jahilnya, Ren sampai kelewatan membuat nama sebutan mantan pacarnya dari Luna menjadi “Lurah”. Selain jahil dan selera humornya yang tinggi itu, Ren punya juga punya kemampuan mahir menguasai pelajaran Bahasa Inggris.
Ada pengenalan tokoh lain seperti Dara, Nadia, Abu, dan Javier yang ikut meramaikan warna cerita “Anak-Anak Daksa” ini. Dara yang nggak pernah ketinggalan merekam segala momen ke media sosialnya dan selalu tampil eksis, tapi cukup lemot. Ada Nadia yang paling “normal” diantara lingkaran pertemanan ini. Javier yang tidak ada darah blasteran, tapi namanya kebule-bulean plus merasa dirinya paling ahli urusan mendekati cewek, ada Abubakar yang biasa dipanggil Abu. Keturunan Arab yang paling kritis, paling puitis di antara teman-temannya yang lain tapi juga konyol, dan anak baru pindahan dari sekolah lain bernama Rana, jadi warna baru di kehidupan “Anak-Anak Daksa”.
Di bab selanjutnya, penulis menceritakan bagaimana kondisi kelas dan kasta dalam posisi duduk di kelas. Dibagi menjadi 3 kasta, anak-anak pintar dan rajin dambaan guru pastilah duduk dua barisan paling depan, diikuti oleh mereka yang malas-malasan tapi mau usaha, dan yang terakhir jelas kasta paling rendah karena yang ditunggu hanyalah waktu pulang sekolah–tentu duduknya ada di barisan paling belakang yang ditempati oleh Ren dkk. Cerita ini sangat sesuai seperti era kita semua di masa putih abu-abu. Ternyata, dalam novel “Anak-Anak Daksa” pun ada perbandingan kasta yang sama kalau soal kepentingan di kelas. Hahha kocak juga, ya.
Pada bab lainnya, penulis menceritakan bagaimana solidaritas pertemanan mereka saat Abu terancam tidak ikut berwisata ke Bandung. Ren dkk. merencanakan sesuatu untuk mendapatkan uang tambahan agar Abu tetap bisa ikut. Mereka berprinsip kalau satu bahagia, semua harus ikut merasakan. Satu sedih, semua merasakan sedih. Akhirnya, dalam sebuah misi tercetuslah “Operation : Save the Camel”. Nama misi yang tercetus dari lisan Ren yang resek tetapi disepakati oleh Dara, Nadia, Javier dan juga Rana. Dari sana terciptalah kreativitas Dara, Nadia, Javier, Ren dan juga Abu yang ikut terlibat karena sungkan–takut merepotkan kawan-kawannya yang sudah membantunya dengan berbagai cara. Ren dan Javier bermain musik akustikan, Nadia ikut sebagai backing vocal, Dara ikut andil untuk mengabadikan momen mengamen itu di media sosialnya, dan Abu membacakan puisi di tengah-tengah kerumunan kakak mahasiswa yang sedang istirahat di kantin. Benar-benar totalitas.
Salah satu potongan percakapan kocak antara Abu dengan Javier ketika dimintai kunci jawaban saat ujian dadakan. |
Bagian lain yang menarik, ketika guru favorit bernama Bu Jelita harus cuti melahirkan selama 3 bulan dan digantikan oleh Pak Mat untuk sementara waktu. Sayangnya, dengan cara mengajar yang sangat konsevatif, membuat murid-murid jadi bosan dan makin tidak memahami apa yang diajarkan. Khususnya bagi kelas Ren. Akhirnya, berbekal keluhan seluruh “Anak-Anak Daksa”, keluarlah petisi untuk Pak Mat. Dalam kesempatannya bertemu Mrs. Jelita, Ren dkk. berbondong-bondong ke kediamannya untuk membujuk Mrs. Jelita agar segera menyelesaikan masa cutinya dan kembali mengajar. Dari sini, muncul jawaban Mrs. Jelita untuk murid-muridnya agar tetap menerima kebijakan sekolah pun mereka mesti menjaga etika dan sopan-santun. Sebab, setiap guru punya cara mengajarnya yang berbeda-beda. Termasuk Pak Mat. Kalimat yang berbunyi, “And believe me, it’s hard for us to make you guys listen to us. Jadi, hargai aja usahanya. Mungkin nggak kayak yang kalian mau, tapi percaya, deh. We’ve tried the best we can.”
Keunggulan
Novel setebal 184 halaman ini memberi warna lain ketika pembaca yang disasar berusia 25 keatas. Dijamin buku ini menjadi pereda penat ditengah tuntutan hidup yang ugal-ugalan. Sesekali kembali membaca buku-buku fiksi begini, meringankan beban pikiran juga. Beda hal jika buku ini ditembak ke usia belia sekitar standar usia SMA pada rentang 15-18 tahun, pasti akan sangat sesuai. Tapi, secara keseluruhan, novel ini ramah bagi semua usia. Dalam keterangan di balik novel diberikan label 13+, yang mana semua kalangan yang berumur di atas 13 tahun layak membaca novel “Anak-Anak Daksa” ini.
Kekurangan
Buku fiksi yang mispersepsi–kalau salah mengartikan judul “Anak-Anak Daksa”. Secara keseluruhan cerita, tidak ada sangkutpautnya dengan seseorang yang memiliki keterbatasan. Novel ini benar-benar diciptakan dengan santai tanpa ada unsur sosial yang berat.