SUDUT PANDANG PENULIS TENTANG PROSES PENULISAN CERITA PENDEK “SEKAR ANJANI”
June 30, 2019
BAGIAN I
MENGENAI PENULIS (YANG LABIL)
Berasal dari goresan tangan seorang gadis biasa
kelahiran kota kecil, Probolinggo yang merantau untuk menempuh pendidikan di
Kota Malang, yakni Neni Eka Meidiningsih, atau panggil saja Neni. Gadis
kelahiran 90’an ini, ternyata diam-diam memiliki keinginan yang terlalu banyak.
Usut punya usut, yang sejak dulu berkeinginan menjadi seorang pelukis, pemain
teater, lalu berganti lagi untuk menjadi seorang sutradara, bahkan seiring bertambahnya
usia, Neni memiliki keinginan untuk menjadi seorang pengusaha muda. Ketika
melihat potensi yang ada di kota dingin ini, Neni nampaknya makin kebingungan
dengan tujuan akhirnya dalam berambisi, yakni menjadi seorang konsultan bisnis,
yang notabene adalah cara kerjanya saat ini yang tekuni di bidang marketing.
Namun, lepas dari itu semua, ternyata
seorang Neni masih juga iseng untuk mengikuti ajang festival lomba menulis
puisi maupun cerpen di luar aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa dan
marketing di perusahaan yang ia abdikan. Setiap info lomba menulis ia cari di
media sosial, di media cetak, tapi seringkali ia simpan sendiri tulisannya
hingga menumpuk dalam satu buku dan lusuh. Tak hanya berhenti di situ, kesan
fokus di satu titik rasanya tak membuat Neni menjadi betah ataupun puas dan
memilih untuk mencoba menggali potensi lebih dalam lagi di bidang lainnya untuk
membuka jasa foto dan videografi yang menggaet Budi Aji, kawan lamanya di
Malang. Tapi bukan dia yang menjadi fotografernya,melainkan hanya mempromosikan
dan “merayu” calon klien, sedangkan Budi Aji yang memotret. Think smart hhaha.
Dan ternyata hasilnya tidak main-main, beberapa rupiah masuk ke kantong usaha
kecil-kecilan ini sebagai wujud nyata kerjasama yang baik.
Di akun linimasanya sendiri, seorang Neni
tak pernah lepas dari kata-kata kiasan, majas, dan metafora. Entah itu mulai
dari kesedihan, kebahagiaan, kekesalan, dan apapun yang muncul dalam otak
kanannya, ia tuang dalam tulisan. Seperti instagram, yang sengaja ia isi dengan
kalimat-kalimat romantis nan puitis dengan tambahan visual yang ia buat gradasi
warna. Entahlah, pemikiran yang aneh memang. Tapi begitulah Neni. Seolah ingin
berbeda dari yang lain, ia membuat gayanya sendiri. Mulai dari cara
berpakaiannya, cara menuliskan kalimatnya di galeri instagram , hingga setiap
aktivitas yang ia unggah dalam kesehariannya, tak lepas dari kata-kata.
Katanya, “Kalau posting foto wajah saja,
buat apa? Banyak yang masih ingin lihat foto wajah orang di tempat lain, tapi
tidak di tempatku. Aku tidak menjual tampang, karena aku sadar diri, tampangku
biasa-biasa saja untuk ukuran berswafoto di media sosial, maka dari itu
kusampaikan tulisan-tulisanku saja. Aku lebih nyaman begitu. Karena aku tahu,
semua orang punya “pasarnya” masing-masing, dan hal itu wajar. Tidak perlu
dipermasalahkan.” (neni)
Memang bila membaca pikirannya seperti
angkuh sekali ya, pendapatnya. Setiap manusia terlahir untuk mustahil tak
memiliki pesaing ataupun musuh. Minimal , ada saja yang tidak berkenan. Itupun
wajar. Maka dari itu, setiap kali ia ingin menulis, Neni juga perlu banyak
berlatih dan juga membaca. Cara lain yang ingin dicapai oleh Neni adalah
menjalin relasi di luar kampus dan tempat kerjanya. Seperti komunitas
independen teater yang bernama Ruang Karakter, Teater Komunitas, hingga
merambat ke beberapa kalangan lainnya seperti pelaku film karya anak lokal,
berbagi pengalaman dengan mahasiswa kampus lain, dan masih banyak lagi. Cerita
panjang dan juga pengalaman yang tidak main-main.
BAGIAN II
AWAL
KISAH MEMBUAT NASKAH “SEKAR ANJANI”?
Klasik. Kenapa saya bilang begitu.
Ternyata ada kisah menarik yang membuat SEKAR ANJANI lahir. Saat itu , Neni
yang tengah bergelut di bidang jasa, ingin sekali memotret dengan tangannya
sendiri. Sayangnya, ia tak punya fasilitas yang memadai. Alhasil, yang ia
tanyakan pertama kali adalah Budi Aji. Yang mana, Budi Aji adalah mahasiswa
jurusan desain di Universitas Negeri Malang, logikanya “ah, barangkali ada kamera dan bisa dipinjam barang seharian penuh”. Tetapi
gagal, entah karena alasan apa, Neni tidak bercerita lebih lanjut. Dan
bersyukurnya, Budi menawarkan temannya yang lain untuk bisa meminjami
kameranya. Tertujulah pada Masmur atau Pratama Ilham dari kampus dan jurusan
serupa tetapi lebih konsentrasi pada Film dan televisi. Wah kebetulan sekali.
Akhirnya, tanpa bicara panjang lebar, dapatlah pinjaman kamera itu yang
ternyata bukan sembarang kamera, tapi 7D yang ia pinjamkan pada Neni. Dengan
kata lain, tiba-tiba Masmur menanyakan hal yang sederhana, begini bunyinya,
“Mbak, sampean punya cerita ta mbak? Yang bisa dibuat untuk tugas akhir kita
nanti.”. Pikir Neni, dengan pikiran antara oon dan polos, Neni menjawab “iya,
punya. Tulisan kan?” padahal yang Masmur tanyakan adalah cerita panjang yang
sudah siap dikemas. Alhasil, sesampainya di kost, Neni berpikir keras dari
permintaan yang disampaikan tadi. Untungnya, pada akhirnya Neni tahu apa yang
diinginkan Masmur, ya, naskah utuh dan siap untuk di filmkan.
Di satu sisi, sambil membuka dokumen lama
di laptop, mulai dari tahun 2012, tahun 2016, 2017, buka lagi dokumen tahun
2016, lalu mundur ke tahun 2015. Neni akhirnya memutuskan untuk mengirim
beberapa judul tulisan yang sudah ia buat, tapi tak utuh. Seperti potongan
kisah yang belum rampung. Tetapi Masmur mengatakan, ia mau “manut” saja dengan
tulisan yang akan saya berikan. Kemudian, seperti ada angin baru, Masmur
kembali mengatakan, “....Kalau bisa nggak kayak FTV atau sinetron yang
endingnya keliatan,mbak.” Ok, pikir Neni. Paham sampai sini. Akhirnya kedua
judul naskah yang diajukan, ia rombak sesuai apa yang diinginkan Masmur.
Tetapi, karena faktor mood penulis yang
naik-turun, naskah yang awalnya diberi jangka waktu seminggu, malah lewat dua
hari. Kemudian lanjut lagi. Ya, karena memang perlu adanya pendalaman karakter
dari tokoh yang penulis pilih, hingga latar tempat yang akan ditampilkan dalam
layar sebagai penguat film pendek itu sendiri. Maka, jadilah Neni sebagai tukang
melamun. Ya, di kamar mau beranjak tidur,mikir, di kamar mandi, mau ambil sikat
gigi,mikir, saat buka beranda di kanal linimasa (instagram), juga cari
referensi. Pusing ternyata kalau menulis mikir terus. Tapi, untungnya si
penulis bisa menikmati prosesnya.
Di waktu lain mendekati deadline, Masmur
kembali menghubungi penulis dengan “...sedikit permintaan”,katanya. Ia minta
sedikit ada sentuhan ‘kopi’ dalam ceritanya. Maka, terjadilah dua kali
perubahan naskah di waktu yang begitu mepet. Berbekal ngetik di kantor,
mencuri-curi waktu saat di jam kuliah kelas malam, ‘nyempil’ di balik punggung
dosen hanya untuk mengetik lanjutan ceritanya, hingga sampai di kos pun
menambahi sisanya. Lalu kembali dikirimkan ke Masmur melalui whatsapp untuk
meminta konfirmasinya. Dan....jeng jeng jengg... sepekan kemudian, Masmur
memasang cerita pada status whatsapp-nya yang seperti surat edaran bahwa naskah
“SEKAR ANJANI” diterima dan di cap stempel oleh dosen pembimbing beserta dosen
pendampingnya. Ahh turut senang mendengar kabar itu.
BAGIAN III
FAKTA-FAKTA PEMILIHAN
JUDUL
“SEKAR ANJANI”
1.
SEKAR ANJANI BELUM PERNAH DIPAKAI OLEH BIDANG FILM APAPUN
Kecuali pada situs-situs
profil Facebook , instagram , dan linimasa lainnya karena memang namanya sendiri
haha. Beda kalau di dunia film dan TV. Sudah dicari, dan alhamdulillah belum
ada yang menggunakan nama ini.
Sebagai seorang penulis
amatir, bukan berarti tidak boleh mencaritahu atau research soal judul yang ia
ingin angkat dalam bentuk karya apapun,bukan? Maka dari itu, penulis ingin nama
kuno SEKAR – ANJANI ini tetap khas di telinga masyarakat dan menjadi identitas
bagi teman-teman tim PROBIS dari Universitas Negeri Malang.
2. SEKAR – ANJANI
1. Kenapa harus memakai nama jadul sih?
2. Kenapa kok ngga nyari dari film-film yang sudah tenar
aja,sih?
3. Kenapa kok pakai bahasa baku?
4. Kenapa harus mengambil tema drama?
5. kenapa harus milih nama SEKAR ANJANI?
6. Milih judul SEKAR ANJANI biar keindi-indian,kan?
Mari
kita ulas satu-persatu,
1.
Penulis sengaja tidak
mengambil nama-nama modern karena mainstream, sudah banyak digunakan bagi
kalangan remaja. Terlalu membosankan. Kurang memiliki ciri khas. Karena disini
penulis perlu memiliki ciri khas, dan itu pasti.
2.
Kalau penulis langsung
mencari dari film-film yang sudah lebih dulu tenar, itu namanya bukan inovasi,
melainkan plagiasi. Kita diciptakan sebagai manusia yang memiliki seribu
memori, dan kenapa tidak memanfaatkan otak kita sendiri? Simpel bukan.
3.
Kenapa harus bahasa
baku? Karena selain penulisnya suka. Kalau menggunakan bahasa yang kurang baku,
rasanya ftv sekali, atau jatuhnya terkesan seperti sinetron. Katakanlah,selain
penggunaan bahasa baku dalam sebuah film. Pernah nggak sih selama sehari-hari
kita hidup menggunakan sedikit banyak bahasa baku? Jawabannya pasti tidak. Coba
kalaupun ada, beri saya buktinya. Demikian pula pada blog yang saya gunakan.
Saya menyesuaikan pembacanya. Bahasa baku boleh, bahasa tidak baku boleh, itu
semua pilihan, terserah apapun pendapatnya. Isi dari konten yang saya buat ini
selalu berbahasa yang baik dan sebaik mungkin tetap santai dan juga santun.
4.
Tema drama : Pilihan
yang mudah dalam kurun waktu yang singkat bagi saya. Karena tidak mungkin
manusia tak mengalami kisah drama. Maka , penulis berkoordinasi pula dengan
Masmur tentang – mau dibawa kemana film pendek kalian ini?, karena Masmur
meminta mengikuti alur cerita penulis di tengah tekanan dead line yang sangat pendek.
Maka unsur drama disetujui. Simpel bukan? Eksekusinyapun bisa ditangkap dengan
cepat.
5.
Kenapa harus nama SEKAR
ANJANI. Pertama, penulis selalu suka mengangkat karakter dan kuatnya unsur
perempuan. Secara umum, penulis suka mengangkat tema seputar perempuan. Ya
karena memang penulisnya perempuan hhhaha
6.
Memilih SEKAR – ANJANI
biar keindi-indian? Kalau untuk urusan itu, kembali lagi pada sudut pandang
masing-masing pribadinya. Intinya satu hal yang perlu diingat untuk semua
kalangan. Bahwa menulis cerita yang difilmkan, itu tidak semudah menulis diary. Itu saja.
Terimakasih telah membaca bagian pertama dari Sudut Pandang Penulis ini. Selanjutnya, silakan nantikan artikel seputar DI BALIK LAYAR KELUARGA "SEKAR ANJANI" pada halaman berikutnya
4 coment�rios
TOP
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir di "rumah" saya, sahabat Gendhis.. 🙏😇
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteIni sudut pandang penulisannya,dibikin seolah bukan kamu yang nulis ya, Nen? Ada caranya sakjane. Mungkin bisa dibahas pas kita jumpa. Soal ejaan, yang ini juga berantakan tapi bisa dipelajari sambil jalan kalau ejaan.
ReplyDeleteTeruslah menulis, sampai pada waktunya nanti, kamu akan menulis dengan cara bukan menjejalkan semua yang ingin kamu sampaikan. Menjejalkan semua informasi yang ingin kita tulis, kerap kali bikin bahasannya kemana-mana dan justru bahasan utama kurang tersampai.
Sekali lagi, aku penasaran gimana kelak kamu akan berkembang.